BINGKISAN HINAAN
Suatu ketika di dekat Tokyo, hiduplah seorang Samurai yang cukup termasyur. Di masa tuanya, sang samurai ini memutuskan untuk mengajar falsafah Zen ke sejumlah anak muda di kawasan itu. Meskipun sudah cukup gaek, ketenaran sang samurai yang belum pernah terkalahkan membuatnya menjadi buah bibir di seantero Tokyo.
Suatu hari, seorang ksatria muda datang ke padepokan zen sang samurai tua itu. Ksatria pendatang ini terkenal memiliki teknik provokasi kelas wahid. Konon dalam setiap duel, sang ksatria akan melancarakan provokasi bertubi-tubi sehingga lawannya membuat serangan pertama. Segera setelah itu, diapun segera menghabisi lawannya dengan serangan balik super cepat.
Karena tekniknya itu, dalam setiap pertarungan Ksatria muda ini belum pernah terkalahkan. Kala mendengar ada seorang Samurai tua yang mempunyai reputasi serupa, Ksatria muda ini pun tidak menyianyiakan kesempatan untuk menjajal keampuhan tekniknya. Tak menunggu lama, diapun segera melayangkan surat tantangan ke padepokan Zen milik sang Samurai. Demi membaca surat tantangan itu, sang samurai pun mengurung diri dan berkontemplasi di dalam ruang meditasi.
Keesokan harinya, meskipun sempat ditentang oleh seluruh murid zennya, di luar dugaan sang Samurai menerima tantangan Ksatria muda ini. Berita pertarungan keduanya pun merebak di seantero kota. Dalam hitungan menit, masyarakat tampak sudah membanjiri alun-alun kota, tempat duel digelar.
Dengan pedang di pinggang, keduanya pun mulai menjaga jarak dan memasang kuda-kuda. Sang ksatria muda seakan tak ingin kehilangan moment, dan segera melancarkan teknik andalannya. Dia melempari sang samurai tua dengan batu, meludah ke arah wajahnya, bahkan menyumpahi seluruh leluhurnya.
Dia berupaya sekuat tenaga membuat sang Samurai terprovokasi. Namun sang Samurai tetap bergeming. Kuda-kudanya terlihat makin kokoh dan matanya tetap awas mengintai setiap gerakan ksatria muda itu. Melihat provokasinya tidak membuahkan hasil, sang ksatria muda meningkatkan intensitas serangannya. Bahkan provokasi-provokasi itu tetap ia lakukan meski waktu duel terus berjalan hingga berjam-jam lamanya.
Saat senja datang, keduanya tetap berdiri mematung dengan Ma ai (jarak serang) yang tidak berubah. Bahkan tidak sedikit warga kota yang meninggalkan arena duel yang mereka nilai membosankan itu. Hanya segelintir orang yang masih setia melihat pertarungan keduanya. Sejumlah kecil orang-orang tua dan tentu saja murid-murid zen sang Samurai.
Dengan nafas terengah-engah, sang Ksatria muda tampak lunglai. Cibiran yang terus dilontarkannya seakan menghisap seluruh tenaga dalam tubuhnya. Dengan langkah gontai dan hati dongkol, sang ksatria muda pun meninggalkan arena duel dengan terus menggerutu.
Murid-murid sang Samurai yang setia mengikuti duel ini pun mulai mengerumuni guru mereka dengan segudang pertanyaan di benak mereka. “Kenapa anda hanya diam saja? Kenapa tidak menghunuskan pedang? Meski tahu anda mungkin akan kalah dalam duel ini, setidaknya berbuatlah sesuatu. Jangan menunjukkan sikap pengecut seperti itu di hadapan kami..” keluh mereka.
Sang Samurai pun angkat bicara. “Jika seseorang memberi kalian bingkisan, dan kalian tidak menerimanya. Jadi milik siapa bingkisan itu?!” ucapan sang samurai yang keras itu bagai menggelegar di arena duel yang semakin sepi.
Senyap. Murid-murid Zen itu seketika diam dan hanya bisa saling menatap mata. Sejurus kemudian, salah seorang diantaranya memberanikan diri berucap, “Milik orang yang mengirim bingkisan itu.”
Mendengar ucapan itu, sang samurai pun kembali berucap. “Hal yang sama juga berlaku pada rasa iri, amarah maupun hinaan. Saat hal-hal semacam itu dilancarkan pada kalian, dan kalian tidak membalas dengan hal serupa, maka semua itu akan tetap menjadi milik orang yang melontarkannya..”
Diambil dari tulisan Paulo Coelho
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Comment yg membangun ya.. Thx