Sabtu, 21 Oktober 2017

Cuplikan Buku. Satu Menit Yang Mengubah Hidup Anda

Menurut hasil penelitian para ahli, orang yang semakin banyak materi semakin jauh dari arti bahagia yang sesungguhnya.

Mereka semakin serakah, kejam, pelit, egois, dan tidak mau tahu dengan penderitaan orang lain.

Dulu sewaktu masih karyawan dengan gaji yang tidak besar, kalau naik pesawat udara tidak pernah merasa takut, tetapi setelah usaha maju, kenapa ya setiap naik pesawat udara ada kekhawatiran takut pesawat mengalami kecelakaan?



Oh, setelah direnungkan, ternyata semakin banyak terikat oleh kemelekatan pada materi, yang membuat kita semakin takut dan khawatir.
Di Amerika, seorang pemenang undian berhadiah 10 juta US$, mendadak dari miskin menjadi kaya raya.
Tapi apakah orang tersebut lebih bahagia? Setelah beberapa tahun, orang tersebut menderita begitu banyak penyakit dan depresi akibat kaya mendadak.

Orang bijaksana dahulu berkata, “Kita lahir tidak membawa apa-apa, demikian juga kalau kita mati.”
Kata-kata yang mengandung kebenaran!

Tapi ada yang memberikan argumentasi bahwa mereka mencari uang terus-menerus itu semata-mata untuk keluarganya. Apa benar?

Banyak kasus menunjukkan bahwa justru karena terlalu banyak harta yang ditinggalkan kepada anak cucu, yang membuat mereka jadi menderita. Tidak percaya?

Lihatlah anak-anak orang kaya sekarang ini, apa mereka bisa benar-benar menghargai usaha orangtuanya atau hanya bisa menghabiskan harta orangtuanya?

Oleh karena sibuk mencari uang, orangtua tidak lagi berkesempatan memberikan kasih sayang dan pendidikan moral yang baik kepada anak-anaknya, akibatnya mereka tumbuh menjadi anak-anak yang hanya pandai menghambur-hamburkan uang, antarsaudara selalu bertengkar, mabuk-mabukan,
mengonsumsi narkoba, dan lain sebagainya.

Coba lihat sekeliling kita, apa benar ada tendensi ke arah sana?

Memang tidak semuanya akan begitu, tetapi kalau sebagian besar sudah pasti akhirnya akan menjadi demikian. Lantas untuk apa tujuan hidup kita?

Nah, kini sudah tiba saatnya untuk mereposisi tujuan hidup Anda. Mereposisi artinya mendudukkan kembali secara benar tujuan hidup Anda.

Mencari kekayaan tidak salah. Sekali lagi tidak ada yang salah dengan komitmen tersebut, tetapi materi itu kita tempatkan di level berapa dari tujuan hidup kita?

Mari kita tulis dahulu beberapa tujuan hidup yang umumnya berlaku:

a. Menjadi kaya
b. Keluarga yang bahagia (harmonis)
c. Kekuasaan / kedudukan sosial yang tinggi
d. Kesehatan yang baik
e. Dapat menikmati kesenangan duniawi
f. Punya pasangan hidup yang cantik dan rupawan
g. Mendapatkan pasangan hidup yang kaya
h. Karir yang cemerlang
i. Pendidikan yang tinggi
j. Mempunyai putra-putri yang sehat dan berbakti
k. Dan lain-lain.

Kalau kita teliti satu per satu tujuan hidup yang umum di atas, dapat terlihat bahwa semuanya itu demi sang “AKU”, keegoisan kita.

Semuanya untuk saya, saya, saya. Saya mau kaya, saya mau kekuasaan, saya mau keluarga bahagia, saya mau karir yang terbaik, semua “SAYA”.

Siapakah “SAYA”? Siapakah “AKU” ini?

“AKU” adalah konsep diri yang salah yang diciptakan oleh pikiran kita, seolah-olah ada diri yang sejati.

Padahal kata “aku” hanyalah kata yang kita ciptakan semata-mata untuk berkomunikasi dengan orang lain. Demikian pula dengan kata-kata: kamu, kami, dia, mereka, kita.

Kata “aku” yang sebenarnya hanya simbol untuk menunjukkan pihak yang berbicara terhadap lawan bicara, dalam perkembangannya selama berjuta-juta reinkarnasi, telah menjadi kata yang seolah-olah mewakili diri kita, seolah-olah ada satu entity atau satu identitas yang sejati, yang tidak berubah, yang terus akan menjadi diri kita.

Sehingga kita lalu mengembangkan proteksi untuk sang “AKU” tersebut. Proteksi dalam bentuk berbagai kepentingan untuk menyamankan dan mengamankan sang AKU.

Kita cari uang untuk “AKU”, agar “AKU” tercukupi, tidak kekurangan. Kita mempunyai keturunan untuk menjaga agar harta warisan “AKU” dapat terjaga, tanpa mempedulikan atau menyadari akibat buruk atau baik yang akan dialami oleh anak cucu penerima warisan tersebut.

Kita mencari kedudukan tinggi, kekuasaan tinggi untuk melindungi “AKU”, memanjakannya. Konsep yang salah ini terus menghantui kita, jadilah kita hantu “AKU”.

Kemelekatan akan “AKU” merupakan bencana, menimbulkan efek keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin. Menimbulkan bencana bukan hanya pada si empunya “AKU” tapi juga bagi makhluk sekelilingnya, masyarakatnya, negaranya, dunia, dan alam semesta.

Dalam kaitan dengan kemelekatan akan “AKU”, sangat menarik untuk disimak salah satu percakapan antara Raja Milinda dari Negara Bactria (sekitar Afghanistan sekarang) dengan Bhikkhu Nagasena.

Percakapan tersebut memberikan penjelasan tentang tidak adanya diri yang sejati.

Raja Milinda pergi menemui Bhikkhu Nagasena.
Setelah saling mengucapkan salam persahabatan secara
sopan, raja duduk dengan hormat di satu sisi. Raja Milinda mulai bertanya, “Apa sebutan Yang Mulia dan siapakah nama Anda?”

“Baginda, saya disebut Nagasena. Namun itu hanyalah rujukan dalam penggunaan umum, karena sebenarnya tidak ada individu permanen yang dapat ditemukan.”

Mendengar itu, Milinda mengundang orang-orang Yunani Bactria serta para bhikkhu untuk menjadi saksi, “Nagasena ini berkata bahwa tidak ada individu permanen yang tersirat di dalam namanya.

Mungkinkah hal seperti itu diterima?”

Kemudian dia berbalik kepada Nagasena dan berkata, “Yang Mulia Nagasena, jika hal tersebut benar, lalu siapakah yang memberi Anda jubah, makanan dan tempat tinggal? Siapakah yang menjalani kehidupan dengan benar?

Atau juga, siapakah yang membunuh makhluk hidup, mencuri, berzinah, berbohong, dan mabuk-mabukan? Jika apa yang Anda katakan itu benar, maka tidak ada perbuatan yang tercela, tidak ada pelaku kebajikan atau pelaku kejahatan, dan tidak
ada hasil karma.

Yang Mulia, seandainya saja seseorang membunuh Anda, maka tidak akan ada pembunuh.

Dan itu juga berarti tidak ada master atau guru di dalam Sangha Anda. Anda katakan bahwa Anda disebut Nagasena. Nah, apa itu Nagasena? Apakah rambutnya?”

“Saya tidak mengatakan demikian, Raja yang agung.”

“Kalau begitu, apakah kukunya, giginya, kulitnya, atau bagian tubuh lainnya?”

"Tentu saja tidak.”

“Atau apakah tubuhnya, atau perasaannya, atau pencerapannya, ataukah gabungan dari itu semua itu
yang disebut Nagasena?”

Masih saja Nagasena menjawab, “Bukan semuanya itu.”

“Kalau begitu, dapat dikatakan bahwa aku tidak dapat menemukan Nagasena itu. Nagasena hanyalah omong kosong. Lalu siapakah yang kami lihat di depan mata ini? Yang Mulia telah berdusta.”

“Baginda, Tuan telah dibesarkan di dalam kemewahan sejak dilahirkan. Bagaimana tadi Baginda datang kemari, berjalan kaki atau naik kereta?”

"Naik kereta, Yang Mulia”

“Kalau begitu, tolong jelaskan apakah kereta itu?
Apakah porosnya? Apakah rodanya, atau sasisnya,
atau kendalinya, atau kuknya, yang disebut kereta?
Ataukah gabungan dari itu semua, ataukah sesuatu di
luar semua itu?”

“Bukan semuanya itu, Yang Mulia.”

"Kalau begitu, Baginda, kereta ini hanyalah omong kosong.

Baginda berdusta ketika berkata datang ke mari naik kereta. Baginda adalah raja yang besar di India. Siapa yang Baginda takuti sehingga Baginda berdusta?”

Kemudian Nagasena memanggil orang-orang Yunani Bactria dan para bhikkhu untuk menjadi saksi, “Raja Milinda ini telah berkata bahwa beliau datang kemari naik kereta, tetapi ketika ditanya, ‘Apakah kereta itu?’ Beliau tidak dapat menunjukkannya.
Dapatkah hal ini diterima?”

Maka secara serempak ke-500 orang Yunani Bactria itu berteriak bersama-sama kepada raja, “Jawablah bila Baginda bisa!”
"Yang Mulia, aku telah berkata benar. Karena mempunyai semua bagian itulah maka ia disebut kereta.”

“Bagus sekali. Baginda akhirnya dapat menangkap artinya dengan benar. Demikian pula, karena adanya tiga puluh dua jenis materi organik1di dalam tubuh manusia beserta lima unsur makhluklah2maka saya disebut Nagasena.

Seperti yang telah dikatakan oleh Bhikkhuni Vajira di hadapan Sang Buddha Yang Agung Seperti halnya karena memiliki berbagai bagian itu maka kata ‘kereta’ digunakan, demikian juga bila ada unsur-unsur makhluk maka kata ‘makhluk’ digunakan.”

"Sangatlah indah Nagasena, sungguh luar biasa teka-teki ini telah Anda pecahkan, meskipun sulit.

Seandainya Sang Buddha berada di sini pun Beliau pasti akan menyetujui jawaban Anda.”
Demikianlah percakapan tersebut.

1)
rambut kepala, bulu tubuh, kuku, gigi, kulit, daging,
otot, tulang, sumsum tulang, ginjal, jantung, hati, sekat
rongga dada, limpa, paru-paru, usus besar, usus kecil,
isi perut, makanan di dalam perut, tahi, empedu, lendir,
nanah, darah, keringat, lemak padat, lemak cair, ludah,
ingus, minyak sendi, air kencing, otak.

2)
Ketika kita mengatakan ‘makhluk hidup’, ini hanyalah
suatu cara bicara konvensional. Yang mendasari konvensi
ini adalah pandangan salah mengenai kepercayaan akan
adanya pribadi, kekekalan, dan adanya substansi. Tetapi, apabila kita periksa dengan lebih seksama apakah
sebenarnya makhluk hidup atau orang itu, maka yang kita temukan hanyalah suatu arus fenomena yang terus-menerus berubah.

Fenomena-fenomena ini dapat diatur dalam lima
unsur: tubuh atau fenomena materi, perasaan, persepsi
(pencerapan), bentukan-bentukan mental, dan kesadaran murni yahg disebut fenomena batin. Ini hanya kategori dan
janganlah menganggap bahwa unsur-unsur ini merupakan sesuatu yang stabil dan kekal.

Setelah kita memahami bahwa tidak ada jiwa yang kekal, tidak ada aku yang permanen, tentu timbullah pertanyaan berikut ini, “Lantas untuk apa saya hidup di dunia ini?”

Kita harus bijaksana memahami hal tersebut, janganlah setelah tahu tiadanya aku yang permanen dan kekal kita lalu malah jadi memiliki persepsi dan pandangan yang salah, seperti: “Kalau tidak ada “AKU”, untuk apa saya bekerja? Untuk apa saya memiliki kekayaan? Untuk apa saya belajar Dharma? Untuk apa saya hidup?”

Pertanyaan-pertanyaan ini kalau tidak disikapi dengan bijaksana, maka akan membuat kita menjadi tidak mempunyai semangat hidup, apatis, tidak lagi berperasaan, dan pemalas. Bagaimana kalau ada yang hendak meminta, mengambil, mencuri harta kita?

Apakah kita harus berdiam diri saja? Atau dengan sukarela menyerahkan?

Buddha tidak mengajarkan kita menjadi orang bodoh yang baik hati tetapi jadilah orang baik hati yang bijaksana. Dalam hidup juga demikian, walau kita diajarkan untuk mengerti bahwa sesungguhnya tiada “AKU”, tetapi Buddha juga berpesan kepada kita:

“Jagalah kekayaan dengan hati-hati.”

Sebagai orang awam yang hidup di dunia yang penuh dengan keperluan materi, maka kita harus bijaksana mencari jalan tengah agar dapat hidup berbahagia. Memahami “tanpa aku” adalah pesan agar kita tidak melekat pada konsep “ada milikku atau punyaku yang permanen”.

Semuanya senantiasa berubah (sunyata), karenanya mari kita kembangkan sikap batin yang benar, dengan cara mengurangi kemelekatan kepada kekayaan materi.

Mari kita mengatasi lima racun: keserakahan(lobha), kebencian (dosa), kegelapan batin (moha), kesombongan (mana) dan keragu-raguan (vicikiccha).

 Jika sudah tidak lagi memiliki kemelekatan yang kuat, apabila suatu saat kita kehilangan benda atau orang-orang yang kita sayangi, maka kita tidak akan terlalu menderita.

* Buntario Tigris, S.H., S.E., M.H.
(Cuplikan bk. Satu Menit Yang Mengubah Hidup Anda)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comment yg membangun ya.. Thx