Kamis, 02 Juli 2015

Rumah yang Sunyi

Suatu pagi, di sebuah rumah, terdengar teriakan suara seorang ibu memberi perintah dan omelan kepada kedua putranya.
,

"Ayo, cepat. Makan jangan lambat-lambat begitu!
Buku PR-nya sudah dimasukin ke dalam tas? Bercandanya nanti saja kalau sudah pulang dari sekolah.
Ayo anak-anak, jangan terlambat, nanti kena hukuman lagi lho!\" seru si ibu dengan nada tegas.


Tidak lama kemudian, setelah anak-anak berangkat ke sekolah, suasana hiruk pikuk pun akhirnya terhenti. Rumah pun menjadi sepi.
Yang tertinggal hanyalah segala macam barang-barang berserakan: mangkuk, piring-piring dan gelas-gelas kosong, kamar mandi yang kotor, tumpukan baju bekas pakai, dan sandal yang entah ke mana pasangannya.
Sambil menghela napas, si ibu melihat sekeliling dan merasa seakan semua pekerjaan bertumpuk telah menunggunya untuk disentuh dan dibereskan.


Tidak lama kemudian, si suami yang bersiap-siap hendak pergi ke kantor, dengan lantang berseru, "Bu, di mana dasiku yang berwarna biru? Tolong carikan, Bapak lagi buru-buru nih.
Oh ya, kaos kakinya sekalian. Sarapannya dibawa saja ya, tolong siapin sekalian! Makasih Bu!"


Mendengar ucapan sang suami, dengan cekatan si istri membantu mencarikan barang-barang yang diperlukan suaminya dan memindahkan sarapan di meja untuk dibawa.
Tak lama kemudian, dengan keberangkatan suaminya, kesunyian semakin terasa. Seisi rumah seakan lenyap dan menyisakan pekerjaan rumah yang menggunung.


Ada kepeningan dan kejenuhan yang melanda si ibu. Dia merasa tidak bahagia karena hari demi hari dilaluinya dengan kondisi yang nyaris sama, yakni selalu dengan beban pekerjaan rumah menumpuk.
Hal tersebut membuat semua beban yang harus dipikulnya tidak tertanggung lagi.


Hingga suatu hari, untuk menenangkan pikiran, ibu itu pergi menengok neneknya yang tinggal di kota sebelah.
Saat itu, ketika melihat cucunya tampak kusut, tidak terawat, dan bersedih hati, neneknya bertanya, "Aduh, cucu nenek kok kusut begitu sih.
Ada apa cucuku? Ada yang ingin kamu keluhkan ke nenekmu ini? Ayo ceritalah unek-unekmu, nenek siap mendengarkan."


Mendapatkan kesempatan mencurahkan sebagian perasaannya, sambil menangis ia mengisahkan semua keluh kesah dari apa yang dirasakannya.
Di akhir cerita, dia bertanya, "Nek, apakah menikah, bersuami dan memiliki anak-anak berarti setumpuk pekerjaan yang tidak ada habisnya? S
epanjang hari, bulan, tahun bahkan sepanjang masa? Sungguh aku lelah Nek, lahir batin.
Sepertinya tidak ada lagi yang tersisa, sedikit saja untuk diriku sendiri. Apakah Nenek juga pernah merasa seperti itu? Tolong aku, Nek."


"Hmm.. aku mengerti perasaanmu.
Nenek akan coba bertukar pengalaman.
Namun sebelumnya, cobalah ikuti apa yang nenek perintahkan.
Sekarang, cobalah pejamkan matamu. Coba bayangkan rumahmu tertata apik, rapi, dan bersih.
Apakah kamu merasa senang, lega, dan bahagia?"


Setelah sejenak memejamkan mata dan membayangkan apa yang diperintahkan nenek, si ibu menjawab, "Ya, Nek. Aku bahagia berasa di tengah rumah yang apik dan resik."
Sesaat, senyum simpul terlihat menghiasi bibir yang tadinya terlihat kecut dan banyak beban.


Melihat kondisi itu, si nenek kembali berkata, "Rumahmu kini apik dan resik, tetapi kosong.
Tidak ada anak-anakmu di dalamnya serta kasih sayang suamimu juga tak ada.
Apakah kamu mau?" Mendengar ucapan nenek, senyuman di wajah si ibu kembali menghilang.


Nenek pun melanjutkan ucapannya, "Kini, bayangkan wajah ketiga putramu yang sedang bermain dengan gembira sambil mengotori rumahmu.
Bayangkan juga suamimu yang penuh semangat sedang menyiapkan kerja untuk menafkahi keluargamu."


Saat itulah, si ibu seolah tersadar akan sesuatu yang selama ini membebaninya.
 "Oh, aku tahu, Nek. Aku tetap memilih rumah yang berantakan tetapi dengan keluarga yang aku cintai di dalamnya, daripada rumah yang apik tetapi kosong dan dingin.
Terima kasih, Nek. Ternyata keluargalah yang membuat rumah hangat dan mendatangkan kegembiraan."


"Cucuku, syukurlah jika kamu telah mengerti.
Bila cinta yang mendasari kamu mengerjakan pekerjaan rumah, maka sebenarnya itu bukanlah beban, tetapi adalah tanggung jawab kita sebagai bagian dari sebuah keluarga.
Setuju kan?" lanjut sang nenek.
Si cucu pun mengangguk dan tersenyum gembira sambil memeluk sayanรง neneknya.


Pembaca yang berbahagia,

Kejenuhan akan rutinitas yang dikerjakan sehari-hari, kadang membuat kita seakan terjebak di dalamnya.
Kita seolah merasa, apa yang dikerjakan justru menjadi beban tak terkira.
Akibatnya, kita akan merasa tidak bahagia.
Padahal sejatinya,
 jika semua bisa dikerjakan dengan penuh cinta, semua beban berat hanya akan jadi "pijakan" mencapai kebahagiaan bersama.

Untuk itu, kepada para ibu di mana pun, jangan merasa rendah diri karena berstatus sebagai ibu rumah tangga. Itu sebuah tanggung jawab yang mulia!
Tanpa kehadiran, cinta, dan pengabdian seorang ibu, lalu apalah artinya sebuah rumah tangga?
Karena sesungguhnya, tidak akan ada pemimpin sehebat apa pun, tanpa seorang ibu yang melahirkannya.
Tanpa seorang ibu, tidak ada siapa pun kita saat ini.


Begitu juga adanya diri kita.
Jika merasa beban sudah memberatkan, cobalah lihat sisi lain dari apa yang sedang kita lakukan.
Sebab pastinya, tak ada pekerjaan yang tak memberikan hasil nyata.
Karena itu, lakukan semua dengan penuh tanggung jawab dan cinta.
Sebab, sesungguhnya, 
tidak ada pekerjaan yang terlalu berat bila dikerjakan dengan landasan keikhlasan dan niatan mulia.

Lakukan semua dengan cinta. Berikan semua dengan kasih nyata. Maka hidup kita akan dipenuhi rasa bahagia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comment yg membangun ya.. Thx