Kamis, 28 September 2017

Tangan Berdoa



     "Tangan Berdoa"

     Di sebuah desa kecil dekat Nuremberg, Jerman, di abad 15, hiduplah sebuah keluarga dengan anak-anaknya yang berjumlah 18. Ya, delapan belas! Sang ayah, seorang pedagang emas, bekerja hampir delapan belas jam sehari di tokonya untuk menghidupi keluarganya.


     Walau kondisi keluarga itu senin-kemis, dua anak sulungnya mempunyai cita-cita tinggi. Albrecht dan adiknya Albert Durer bercita-cita jadi seniman ternama, kuliah di perguruan tinggi di Nuremberg, meski secara finansial ayahnya tak mampu membiayai kuliah di sana.

     Kedua anak laki-laki tertua itu akhirnya membuat kesepakatan. Mereka akan melemparkan sebuah koin. Yang menang, dialah yg melanjutkan studi ke perguruan tinggi untuk mengejar impiannya. Yang kalah akan tetap tinggal di kampung halaman, bekerja di pertambangan di dekat rumah mereka, dan dengan penghasilan dari bekerja itu, membiayai kuliah saudaranya yang akan menjadi seniman hebat.

     Diharapkan, setelah kuliah empat tahun, sang seniman besar itu sudah bisa kembali dan membiayai adik-adiknya yang lain.

     Setelah melempar koin, Albrecht Durer memenangkan undian dan kuliah ke akademi di Nuremberg. Albert adiknya, tinggal di kampung dan bekerja sebagai buruh tambang. Selama empat tahun ke depan, ia membiayai saudaranya yang menempuh pendidikan.

     Di akademi itu Albrecht jadi bintang. Lukisan-lukisannya, ukiran kayunya dan lukisan minyaknya jauh lebih baik daripada karya para profesornya. Saat ia lulus, ia menerima banyak uang atas karya-karyanya.

     Ketika seniman muda itu kembali ke desanya, keluarga Durer mengadakan pesta makan malam di halaman rumah mereka untuk merayakan kepulangan Albrecht.

     Albrecht bangkit, atas tahun-tahun pengorbanan adiknya yang memungkinkan Albrecht memenuhi ambisinya, dalam pidatonya, Albrecht berkata: 'Sekarang, adikku Albert, giliranmulah kini. Engkau punya kesempatan berangkat ke akademi di Nuremberg untuk mengejar impianmu, dan aku akan mengurus semua yang kau perlukan'.

     Albert duduk, sementara air matanya mengalir di wajahnya yang pucat, dia menggelengkan kepalanya dan berkata lirih: 'Tidak ... tidak .., tidak kakakku, aku tak bisa pergi ke Nuremberg. Sudah terlambat untukku. Lihatlah ... lihat apa yang aku terima empat tahun bekerja di tambang. Tulang di setiap jariku pernah hancur. Akhir-akhir ini aku telah menderita rheumatoid begitu parah di tangan kananku, sehingga untuk memegang gelas saja aku tak bisa. Apalagi utk memegang kuas dan melukis garis-garis halus di kanvas, terlambat sudah.

     Kini, hampir lima abad sudah berlalu. Ribuan lukisan potret dan karya lainnya dari Albrecht Durer telah beredar dan menghiasi banyak dinding dan ruang di seluruh dunia, bahkan kita mungkin memiliki reproduksi dari salah satu lukisannya yang sangat terkenal, yakni gambar yang diberi judul: 'The Praying Hands. Tangan Yang Berdoa.'

     Inilah sejarah di balik gambar itu:

     'Suatu hari, untuk memberi penghormatan kepada Albert adiknya atas semua yang telah dikorbankannya, Albrecht Durer dengan susah payah menopang tangan adiknya itu, meluruskan jari-jarinya dan kemudian melukisnya.

     Ia memberi judul lukisan itu: 'Hands', tetapi orang2 di seluruh dunia melihat lukisan itu jauh dari sekadar 'Hands' melainkan suatu persembahan cinta yang tulus, tangan yang berkorban dan memohon.

     Itulah sebabnya lukisan itu lebih terkenal dengan judul: 'The Praying Hands'. Tangan yang berkorban demi mewujudkan sebuah cita-cita dan doa. Itulah 'Tangan Yang Berdoa', yang banyak kita lihat di mana-mana'.                      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Comment yg membangun ya.. Thx